BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebanyakan manusia yang hidup di jaman sekarang ini,
menjadikan barometer dalam menilai hal-hal yang terjadi di sekitarnya dengan
perkara-perkara lahir yang nampak dalam pandangan mereka, sebagai akibat dari
kuatnya dominasi hawa nafsu dan kecintaan terhadapa dunia dalam diri mereka.
Mereka lalai dari
memahami hakekat semua kejadian tersebut, karena mereka tidak memiliki
keyakinan yang kokoh terhadap perkara-perkara yang gaib (tidak nampak) dan lupa
pada kehidupan abadi di akhirat nanti.
BAB I
PEMBAHASAN
LARANGAN
BERBUAT KERUSAKAN LINGKUNGAN
Allah Ta’ala
berfirman: { يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ }
“Mereka hanya
mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS ar-Ruum:7).
Sebagai
contoh nyata dalam hal ini, memahami arti “kerusakan lingkungan” yang
sebenarnya. Sementara ini, banyak orang, tidak terkecuali kaum muslimin, yang
mengartikan “kerusakan lingkungan” hanya sebatas pada hal-hal yang
nampak, seperti bencana alam, kebakaran, pengrusakan hutan, tersebarnya
penyakit menular dan lain sebagainya.
Mereka melupakan
kerusakan-kerusakan yang tidak kasat mata, padahal ini adalah kerusakan yang paling besar dan fatal
akibatnya, bahkan kerusakan inilah yang menjadi sebab terjadinya
kerusakan-kerusakan “lahir” di atas.
Arti “kerusakan lingkungan” yang sebenarnya
Allah Ta’ala
berfirman :
{ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
“Telah nampak
kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).
Dalam
ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyatakan bahwa semua kerusakan yang
terjadi di muka bumi, dalam berbagai bentuknya, penyebab utamanya adalah
perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia. Maka ini menunjukkan bahwa
perbuatan maksiat adalah inti “kerusakan” yang sebenarnya dan merupakan
sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi.
Imam Abul ‘Aliyah
ar-Riyaahi[2] berkata, “Barangsiapa yang bermaksiat
kepada Allah di muka bumi maka (berarti) dia telah berbuat kerusakan
padanya, karena perbaikan di muka bumi dan di langit (hanyalah dicapai) dengan
ketaatan (kepada Allah Ta’ala)”
Imam
asy-Syaukaani ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Dalam ayat ini) Allah
menjelaskan bahwa perbuatan syirk dan
maksiat adalah sebab timbulnya (berbagai) kerusakan di alam semesta”
Dalam ayat lain
Allah Ta’ala berfirman:
{وَمَا
أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ}
“Dan apa saja
musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”
(QS asy-Syuura:30).
Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Allah Ta’ala
memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta
maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya
adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan…”
Tidak
terkecuali dalam hal ini, musibah dan “kerusakan” yang terjadi dalam rumah tangga, seperti
tidak rukunnya hubungan antara suami dan istri, serta seringnya terjadi
pertengkaran di antara mereka, penyebab utama semua ini adalah perbuatan maksiat yang dilakukan oleh
sang suami atau istri.
Inilah
makna yang diisyaratkan dalam ucapan salah seorang ulama salaf
yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku
melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…”[6].
Oleh sebab itu,
Allah menamakan orang-orang munafik sebagai “orang-orang yang berbuat kerusakan
lingkungan”, karena buruknya perbuatan maksiat yang mereka lakukan dalam
menentang Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah berfirman:
{وَإِذَا
قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ،
أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ}
“Dan bila
dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan lingkungan,” mereka
menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah,
sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka
tidak sadar” (QS al-Baqarah:11-12).
Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Melakukan maksiat di muka bumi (dinamakan)
“berbuat kerusakan” karena perbuatan tersebut menyebabkan rusaknya apa yang ada
di muka bumi, seperti biji-bijian, buah-buahan, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan,
karena terkena penyakit yang disebabkan perbuatan maksiat. Demikian juga karena
melakukan perbaikan di muka bumi adalah dengan memakmurkan bumi dengan ketaatan
dan keimanan kepada Allah, yang untuk tujuan inilah Allah menciptakan manusia
dan menempatkan mereka di bumi, serta melimpahkan rezeki kepada mereka, agar
mereka menjadikan (nikmat tersebut) sebagai penolong mereka untuk melaksanakan
ketaatan dan ibadah kepada Allah, maka jika mereka melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan ketaatan kepada Allah (maksiat) berarti mereka telah
mengusahakan (sesuatu yang menyebabkan) kerusakan dan kehancuran di muka bumi”
Maka
kematian orang-orang pelaku maksiat merupakan sebab utama berkurangnya kerusakan
lingkungan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“(Kematian) seorang hamba yang fajir (banyak berbuat maksiat) akan
menjadikan manusia, negeri, pepohonan dan binatang terlepas (terselamatkan dari
kerusakan karena perbuatan maksiatnya)”
1.
Syirik dan bid’ah
sebab terbesar kerusakan lingkungan
Dikarenakan
perbuatan syirik (menyekutukan Allah dalam beribadah) adalah dosa yang paling
besar di sisi Allah, maka kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan ini
sangat besar, bahkan perbuatan inilah yang menjadi sebab utama kerusakan
terbesar di muka bumi.
Imam
Qatadah dan as-Suddi berkata, “Kerusakan (yang sesungguhnya) adalah perbuatan syirik,
dan inilah kerusakan yang paling besar”
Demikian juga
perbuatan bid’ah dan semua seruan dakwah
yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah r, pada hakekatnya merupakan sebab
terbesar terjadinya kerusakan lingkungan. Karena petunjuk dan kebenaran yang
dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya
aturan untuk memakmurkan dan mensejahterakan alam semesta, sehingga semua
seruan agama yang bertentangan dengan petunjuk beliau adalah sebab utama
terjadinya kerusakan lingkungan.
Oleh karena itu,
imam Abu Bakar Ibnu ‘Ayyasy Al Kuufi ketika ditanya tentang makna firman Allah Ta’ala,
{وَلا
تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا}
“Dan janganlah kamu
membuat kerusakan lingkungan, sesudah (Allah) memperbaikinya…”.
Beliau
berkata: “Sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada umat manusia, (sewaktu) mereka dalam keadaan rusak, maka
Allah memperbaiki (keadaan) mereka dengan (petunjuk yang dibawa) Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, sehingga barangsiapa yang mengajak (manusia) kepada
selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
maka dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan lingkungan”
2.
Cara mengatasi dan
memperbaiki kerusakan lingkungan
Karena
sebab utama terjadinya kerusakan lingkungan adalah perbuatan maksiat dengan
segala bentuknya, maka satu-satunya cara untuk memperbaiki kerusakan tersebut
adalah dengan bertobat dengan taubat yang nasuh[14] dan kembali kepada Allah.
Karena taubat yang nasuh akan menghilangkan semua pengaruh buruk
perbuatan dosa yang pernah dilakuakan.
Rasululah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang telah bertobat
(dengan sungguh-sungguh) dari perbuatan dosanya, adalah seperti orang yang
tidak punya dosa (sama sekali)”[15].
Inilah makna yang
diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala di atas,
{لِيُذِيقَهُمْ
بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
“…supaya Allah
merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).
Artinya: agar
mereka kembali (bertobat) dari perbuatan-perbuatan (maksiat) yang berdampak
timbulnya kerusakan besar (dalam kehidupan mereka), sehingga (dengan tobat
tersebut) akan baik dan sejahteralah semua keadaan mereka”
Dalam
hal ini, sahabat yang mulia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anha pernah
mengucapkan dalam doanya: “Ya Allah, sesungguhnya tidak akan terjadi suatu
malapetaka kecuali dengan (sebab) perbuatan dosa, dan tidak akan hilang
malapetaka tersebut kecuali dengan taubat (yang sungguh-sungguh)…”
Maka
kembali kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan mempelajari, memahami dan mengamalkannya adalah
solusi untuk menghilangkan kerusakan lingkungan dalam segala bentuknya, bahkan
menggantikan kerusakan tersebut dengan kebaikan, kemaslahatan dan
kesejahteraan. Karena memang agama Islam disyariatkan oleh Allah Ta’ala
yang maha sempurna ilmu dan hikmah-Nya, untuk kebaikan dan kemaslahan hidup
manusia. Allah Ta’ala berfirman,
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ
لِمَا يُحْيِيكُمْ}
“Hai orang-orang
beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada
suatu yang memberi (kemaslahatan)[19] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Imam
Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “(Ayat ini
menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan
memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan
merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti)
hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka
kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah
dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”
Dalam ayat lain
Allah Ta’ala berfirman,
{وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ
مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُون}
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya” (QS al-A’raaf:96).
Artinya:
Kalau saja mereka beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar dan
dibuktikan dengan amalan shaleh, serta merealisasikan ketakwaan kepada Allah I
lahir dan batin dengan meninggalkan semua larangan-Nya, maka niscaya Allah akan
membukakan bagi mereka (pintu-pintu) keberkahan di langit dan bumi, dengan
menurunkan hujan deras (yang bermanfaat), dan menumbuhkan tanam-tanaman untuk
kehidupan mereka dan hewan-hewan (ternak) mereka, (mereka hidup) dalam
kebahagiaan dan rezki yang berlimpah, tanpa ada kepayahan, keletihan maupun
penderitaan, akan tetapi mereka tidak beriman dan bertakwa maka Allah menyiksa
mereka karena perbuatan (maksiat) mereka”
Oleh
karena itu, “orang-orang yang mengusahakan perbaikan di muka bumi” yang
sebenarnya adalah orang-orang yang menyeru manusia kembali kepada petunjuk
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan
mengajarkan dan menyebarkan ilmu tentang tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada manusia.
Mereka inilah
orang-orang yang menyebabkan kemaslahatan dan kesejahteraan alam semesta
beserta isinya, tidak terkecuali hewan-hewan di daratan maupun lautan ikut
merasakan kebaikan tersebut, sehingga mereka senantiasa mendoakan kebaikan dari
Allah untuk orang-orang tersebut, sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada
mereka.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Islam
menuntut agar manusia selalu berupaya untuk meraih secarabersama-sama dua
kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaanakhirat. Islam sebaliknya
mencela manusia yang hanya mementingkan satuaspek saja, tanpa memperhatikan
aspek lainnya. Orang-orang mukmin sejatiakan selalu berupaya untuk memenuhi dan
meraih dua kebahagiaan itu denganmelakukan usaha dan ibadah sesuai dengan
tuntunan ajaran agama dan selalumengharap agar dua kebahagiaan itu dapat
diraihnya.
Maka
dapat kita pahami adanya kekafiran di dalam diri manusia, bukanpadadiri
golongan Kafirun saja, tetapi bisa jadi kekafiran tersebut hadir didalam diri
orang yang mengaku dirinya beriman, yang menyatakan sebagaipemeluk Islam, yang
mempunyai cara dan ciri beribadat dan beramal sepertiorang yang telah mendapat
ke-iman-an dari Allah, namun tidakmemperhitungkansuci diri, bersih dalam
beragama, lurus di jalanNya dan adanya Ilmu Allah yang termiliki. Coba
perhatikan bagaimana orang-orang yang mengaku dirinyaIslam, tetapi mereka
melakukan KKN, menghujat, memfitnah, sombong, sukabertengkar, ingkar janji,
mengikuti hawa nafsunya yang rendah, rakusterhadapduniawi, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar