Jumat, 21 November 2014

MAKALAH LARANGAN BERBUAT KERUSAKAN LINGKUNGAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Kebanyakan manusia yang hidup di jaman sekarang ini, menjadikan barometer dalam menilai hal-hal yang terjadi di sekitarnya dengan perkara-perkara lahir yang nampak dalam pandangan mereka, sebagai akibat dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan kecintaan terhadapa dunia dalam diri mereka.
Mereka lalai dari memahami hakekat semua kejadian tersebut, karena mereka tidak memiliki keyakinan yang kokoh terhadap perkara-perkara yang gaib (tidak nampak) dan lupa pada kehidupan abadi di akhirat nanti.
















BAB I
PEMBAHASAN


Allah Ta’ala berfirman: { يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ }
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS ar-Ruum:7).
Sebagai contoh nyata dalam hal ini, memahami arti “kerusakan lingkungan” yang sebenarnya. Sementara ini, banyak orang, tidak terkecuali kaum muslimin, yang mengartikan “kerusakan lingkungan” hanya sebatas pada hal-hal yang nampak, seperti bencana alam, kebakaran, pengrusakan hutan, tersebarnya penyakit menular dan lain sebagainya.
Mereka melupakan kerusakan-kerusakan yang tidak kasat mata, padahal ini adalah kerusakan yang paling besar dan fatal akibatnya, bahkan kerusakan inilah yang menjadi sebab terjadinya kerusakan-kerusakan “lahir” di atas.
Arti “kerusakan lingkungan” yang sebenarnya
Allah Ta’ala berfirman :
{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).
Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyatakan bahwa semua kerusakan yang terjadi di muka bumi, dalam berbagai bentuknya, penyebab utamanya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia. Maka ini menunjukkan bahwa perbuatan maksiat adalah inti “kerusakan” yang sebenarnya dan merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi.
Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyaahi[2] berkata, “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi maka (berarti) dia telah berbuat kerusakan padanya, karena perbaikan di muka bumi dan di langit (hanyalah dicapai) dengan ketaatan (kepada Allah Ta’ala)”
Imam asy-Syaukaani ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Dalam ayat ini) Allah menjelaskan bahwa perbuatan syirk dan maksiat adalah sebab timbulnya (berbagai) kerusakan di alam semesta”

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ}
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Allah Ta’ala memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan…”
Tidak terkecuali dalam hal ini, musibah dan “kerusakan” yang terjadi dalam rumah tangga, seperti tidak rukunnya hubungan antara suami dan istri, serta seringnya terjadi pertengkaran di antara mereka, penyebab utama semua ini adalah perbuatan maksiat yang dilakukan oleh sang suami atau istri.
Inilah makna yang diisyaratkan dalam ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…”[6].
Oleh sebab itu, Allah menamakan orang-orang munafik sebagai “orang-orang yang berbuat kerusakan lingkungan”, karena buruknya perbuatan maksiat yang mereka lakukan dalam menentang Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman:
{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ، أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ}
Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan lingkungan,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS al-Baqarah:11-12).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Melakukan maksiat di muka bumi (dinamakan) “berbuat kerusakan” karena perbuatan tersebut menyebabkan rusaknya apa yang ada di muka bumi, seperti biji-bijian, buah-buahan, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, karena terkena penyakit yang disebabkan perbuatan maksiat. Demikian juga karena melakukan perbaikan di muka bumi adalah dengan memakmurkan bumi dengan ketaatan dan keimanan kepada Allah, yang untuk tujuan inilah Allah menciptakan manusia dan menempatkan mereka di bumi, serta melimpahkan rezeki kepada mereka, agar mereka menjadikan (nikmat tersebut) sebagai penolong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah, maka jika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allah (maksiat) berarti mereka telah mengusahakan (sesuatu yang menyebabkan) kerusakan dan kehancuran di muka bumi”
Maka kematian orang-orang pelaku maksiat merupakan sebab utama berkurangnya kerusakan lingkungan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Kematian) seorang hamba yang fajir (banyak berbuat maksiat) akan menjadikan manusia, negeri, pepohonan dan binatang terlepas (terselamatkan dari kerusakan karena perbuatan maksiatnya)”

1.      Syirik dan bid’ah sebab terbesar kerusakan lingkungan
Dikarenakan perbuatan syirik (menyekutukan Allah dalam beribadah) adalah dosa yang paling besar di sisi Allah, maka kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan ini sangat besar, bahkan perbuatan inilah yang menjadi sebab utama kerusakan terbesar di muka bumi.
Imam Qatadah dan as-Suddi berkata, “Kerusakan (yang sesungguhnya) adalah perbuatan syirik, dan inilah kerusakan yang paling besar”
Demikian juga perbuatan bid’ah dan semua seruan dakwah yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah r, pada hakekatnya merupakan sebab terbesar terjadinya kerusakan lingkungan. Karena petunjuk dan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya aturan untuk memakmurkan dan mensejahterakan alam semesta, sehingga semua seruan agama yang bertentangan dengan petunjuk beliau adalah sebab utama terjadinya kerusakan lingkungan.
Oleh karena itu, imam Abu Bakar Ibnu ‘Ayyasy Al Kuufi ketika ditanya tentang makna firman Allah Ta’ala,
{وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا}
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan lingkungan, sesudah (Allah) memperbaikinya…”.
Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia, (sewaktu) mereka dalam keadaan rusak, maka Allah memperbaiki (keadaan) mereka dengan (petunjuk yang dibawa) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga barangsiapa yang mengajak (manusia) kepada selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan lingkungan”

2.      Cara mengatasi dan memperbaiki kerusakan lingkungan
Karena sebab utama terjadinya kerusakan lingkungan adalah perbuatan maksiat dengan segala bentuknya, maka satu-satunya cara untuk memperbaiki kerusakan tersebut adalah dengan bertobat dengan taubat yang nasuh[14] dan kembali kepada Allah. Karena taubat yang nasuh akan menghilangkan semua pengaruh buruk perbuatan dosa yang pernah dilakuakan.
Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang telah bertobat (dengan sungguh-sungguh) dari perbuatan dosanya, adalah seperti orang yang tidak punya dosa (sama sekali)”[15].
Inilah makna yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala di atas,
{لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
…supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).
Artinya: agar mereka kembali (bertobat) dari perbuatan-perbuatan (maksiat) yang berdampak timbulnya kerusakan besar (dalam kehidupan mereka), sehingga (dengan tobat tersebut) akan baik dan sejahteralah semua keadaan mereka”
Dalam hal ini, sahabat yang mulia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anha pernah mengucapkan dalam doanya: “Ya Allah, sesungguhnya tidak akan terjadi suatu malapetaka kecuali dengan (sebab) perbuatan dosa, dan tidak akan hilang malapetaka tersebut kecuali dengan taubat (yang sungguh-sungguh)…”
Maka kembali kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mempelajari, memahami dan mengamalkannya adalah solusi untuk menghilangkan kerusakan lingkungan dalam segala bentuknya, bahkan menggantikan kerusakan tersebut dengan kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan. Karena memang agama Islam disyariatkan oleh Allah Ta’ala yang maha sempurna ilmu dan hikmah-Nya, untuk kebaikan dan kemaslahan hidup manusia. Allah Ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}
Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[19] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون}
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS al-A’raaf:96).
Artinya: Kalau saja mereka beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar dan dibuktikan dengan amalan shaleh, serta merealisasikan ketakwaan kepada Allah I lahir dan batin dengan meninggalkan semua larangan-Nya, maka niscaya Allah akan membukakan bagi mereka (pintu-pintu) keberkahan di langit dan bumi, dengan menurunkan hujan deras (yang bermanfaat), dan menumbuhkan tanam-tanaman untuk kehidupan mereka dan hewan-hewan (ternak) mereka, (mereka hidup) dalam kebahagiaan dan rezki yang berlimpah, tanpa ada kepayahan, keletihan maupun penderitaan, akan tetapi mereka tidak beriman dan bertakwa maka Allah menyiksa mereka karena perbuatan (maksiat) mereka”
Oleh karena itu, “orang-orang yang mengusahakan perbaikan di muka bumi” yang sebenarnya adalah orang-orang yang menyeru manusia kembali kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengajarkan dan menyebarkan ilmu tentang tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia.
Mereka inilah orang-orang yang menyebabkan kemaslahatan dan kesejahteraan alam semesta beserta isinya, tidak terkecuali hewan-hewan di daratan maupun lautan ikut merasakan kebaikan tersebut, sehingga mereka senantiasa mendoakan kebaikan dari Allah untuk orang-orang tersebut, sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada mereka.




























BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Islam menuntut agar manusia selalu berupaya untuk meraih secarabersama-sama dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaanakhirat. Islam sebaliknya mencela manusia yang hanya mementingkan satuaspek saja, tanpa memperhatikan aspek lainnya. Orang-orang mukmin sejatiakan selalu berupaya untuk memenuhi dan meraih dua kebahagiaan itu denganmelakukan usaha dan ibadah sesuai dengan tuntunan ajaran agama dan selalumengharap agar dua kebahagiaan itu dapat diraihnya.
            Maka dapat kita pahami adanya kekafiran di dalam diri manusia, bukanpadadiri golongan Kafirun saja, tetapi bisa jadi kekafiran tersebut hadir didalam diri orang yang mengaku dirinya beriman, yang menyatakan sebagaipemeluk Islam, yang mempunyai cara dan ciri beribadat dan beramal sepertiorang yang telah mendapat ke-iman-an dari Allah, namun tidakmemperhitungkansuci diri, bersih dalam beragama, lurus di jalanNya dan adanya Ilmu Allah yang termiliki. Coba perhatikan bagaimana orang-orang yang mengaku dirinyaIslam, tetapi mereka melakukan KKN, menghujat, memfitnah, sombong, sukabertengkar, ingkar janji, mengikuti hawa nafsunya yang rendah, rakusterhadapduniawi, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar