PEMBAHASAN
SEJARAH MASUKNYA AGAMA
HINDU, BUDHA
DAN ISLAM DI INDONESIA
A. AGAMA HINDU DAN BUDHA
Agama
Hindu dan Budha berasal dari Jazirah India yang sekarang meliputi wilayah
negara India, Pakistan, dan Bangladesh. Kedua agama ini muncul pada dua waktu
yang berbeda (Hindu: ±1500 SM, Budha: ±500 SM), namun berkembang di Indonesia
pada waktu yang hampir bersamaan. Munculnya agama Hindu dan Budha di Indonesia
berawal dari hubungan dagang antara pusat Hindu Budha di Asia seperti China dan
India dengan Nusantara. Hubungan dagang antara masyarakat Nusantara dengan para
pedagang dari wilayah Hindu Budha inilah yang menyebabkan adanya asimilasi
budaya, sehingga agama Hindu dan Budha lambat laun mulai berkembang di Nusantara.
Kepulauan Nusantara yang diapit oleh
dua benua (Asia dan Australia) serta oleh dua samudra (Hindia dan Pasifik),
mempunyai letak yang sangat strategis dalam jalur perdagangan dunia kala itu.
Hal ini membuat para pedagang asing dari negeri-negeri lain seperti Cina,
India, Persia, dan Arab sering singgah di kepulauan Nusantara. Para pedagang
asing ini tidak hanya berkepentingan untuk berdagang di Nusantara. Mereka juga
menjalin interaksi secara sosial budaya dengan masyarakat lokal, sehingga
masuklah pengaruh-pengaruh kebudayaan mereka ke Nusantara, termasuk pengaruh
kebudayaan Hindu dan Budha. Sebenarnya ada beberapa teori yang diajukan oleh
para ahli mengenai siapa sebenarnya yang membawa agama Hindu dan Budha di
Indonesia, berikut adalah beberapa teori/hipotesa mengenai masuknya agama hindu
dan budha di indonesia.
1. Teori
Brahmana
Teori yang diprakarsai oleh Van Leur
ini menyatakan bahwa kaum Hindu dari kasta Brahmanalah yang mempunyai peran
paling besar dalam proses masuknya agama dan budaya Hindu di Indonesia. Hal ini
mengingat bahwa Kitab Weda ditulis dengan Bahasa Sansekerta yang hanya dipahami
oleh kaum Brahmana. Para Brahmana yang berasal dari pusat-pusat Hindu di dunia
ini datang karena undangan para penguasa lokal yang ingin yang ingin mengetahui
lebih lanjut mengenai agama Hindu. Para raja/penguasa pribumi tersebut adalah
penganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum datangnya pengaruh Hindu
dan Budha.
2.
Hipotesa Ksatria
Menurut teori yang diusung oleh C.C.
Berg ini, agama Hindu dibawa ke Indonesia oleh kaum ksatria (kaum prajurit
kerajaan). Hal ini terjadi karena pada awal abad Masehi sering terjadi
kekacauan politik di India sehingga sering terjadi perang antargolongan di
negeri ini. Para prajurit perang yang terdasak musuh atau telah jenuh berperang
akhirnya meninggalkan tanah air mereka. Diantara para ksatria yang mencari
tempat pelarian ini, sebagian ada yang mencapai Indonesia. Mereka inilah yang
kemudian membuat koloni dan beralkulturasi dengan penduduk lokal. Hal ini
membuat semakin banyak masyarakat lokal yang menganut agama Hindu, pada
perkembangan berikutnya, akhirnya lahirlah kerajaan Hindu di Nusantara.
3.
Hipotesa Waisya
Menurut teori ini, kaum Hindu dari
kasta Waisya adalah yang paling berjasa dalam penyebaran agama Hindu di
Indonesia. Kaum Waisya adalah mereka yang berasal dari kalangan pekerja ekonomi
seperti pedagang dan saudagar. Para pedagang yang berasal dari India atau
pusat-pusat Hindu lain di Asia ini banyak melakukan hubungan dagang dengan
masyarakat atau penguasa pribumi. Hali inilah yang membuka peluang bagi
masuknya agama Hindu di Indonesia. Teori Waisya ini diprakarsai oleh Dr. N. J.
Krom.
4.
Hipotesa Sudra
Orang-orang yang tergolong dalam
Kasta Sudra adalah mereka yang dianggap sebagai orang buangan. Kaum Sudra ini
diduga datang ke Indonesia bersama kaum Waisya atau Ksatria. Karena datang
dalam jumlah yang sangat besar, kaum Sudra inilah yang telah memberikan andil
paling besar terkait masuknya agama Hindu ke Indonesia.
Meskipun disampaikan oleh para ahli,
keempat teori diatas tetap mempunyai kelemahannya masing-masing. Hal
tersebutkarena kitab Weda yang merupakan kitab suci agama Hindu ditulis
menggunakan bahasa Sansekerta dan Pallawa yang notabene hanya dikuasai oleh
kaum Brahmana. Kaum Ksatria, Waisya, dan Sudra tentu saja akan sangat kesulitan
menyebarkan agama Hindu di Indonesia karena mereka tidak memahami Bahasa
Sansekerta yang merupakan bahasa dalam kitab Weda. Namun demikian, menurut
kepercayaan India kuno, kaum Brahmana tidak boleh menyeberangi lautan sehingga
hampir mustahil untuk kaum Brahmana menyebarkan Hindu di Indonesia Secara
langsung.
Karena keempat teori yang saya
sampaikan diatas memiliki banyak kelemahan, maka muncullah teori lain yaitu teori arus balik. Teori ini
dicetuskan oleh F.D.K Bosch, menurutnya Agama Hindu masuk ke Indonesia karena
dibawa oleh orang Indonesia sendiri. Orang-orang Indonesia yang membawa Agama
Hindu ke Indonesia ini berasal dari golongan pemuda yang memang sengaja dikirim
oleh para penguasa pribumi untuk mempelajari agama Hindu dan Budha di India.
Setelah selesai belajar di India, mereka kemudian pulang ke Nusantara lalu
mulai menyebarkan agama Hindu atau Budha
B. AGAMA ISLAM
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M,
kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah. Dibawah kepemimpinan para
khalifah, agama Islam mulai disebarkan lebih luas lagi. Sampai abad ke-8 saja,
pengaruh Islam telah menyebar ke seluruh Timur Tengah, Afrika Utara, dan
Spanyol. Kemudian pada masa dinasti Ummayah, pengaruh Islam mulai berkembang
hingga Nusantara.
Sejarah mencatat, kepulauan-kepulauan Nusantara
merupakan daerah yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di
dunia. Hal tersebut membuat banyak pedagang dari berbagai penjuru dunia datang
ke Nusantara untuk membeli rempah-rempah yang akan dijual kembali ke daerah
asal mereka. Termasuk para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat. Selain
berdagang, para pedagang muslim tersebut juga berdakwah untuk mengenalkan agama
Islam kepada penduduk lokal.
Menurut beberapa sejarawan, agama Islam baru masuk
ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang muslim.
Meskipun begitu, belum diketahui secara pasti sejak kapan Islam masuk ke
Indonesia karena para ahli masih berbeda pendapat mengenai hal tersebut.
Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang proses masuknya
Islam ke Indonesia yaitu teori Mekkah, teori Gujarat, dan teori Persia.
- Teori Gujarat, Teori yang dipelopori oleh Snouck Hurgronje ini menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Kambay (Gujarat), India.
- Teori Persia, Teori ini dipelopori oleh P.A Husein Hidayat. Teori Persia ini menyatakan bahwa agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Persia (sekarang Iran) karena adanya beberapa kesamaan antara kebudayaan masyarakat Islam Indonesia dengan Persia.
- Teori Mekkah, Teori ini adalah teori baru yang muncul untuk menyanggah bahwa Islam baru sampai di Indonesia pada abad ke-13 dan dibawa oleh orang Gujarat. Teori ini mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah (arab) sebagai pusat agama Islam sejak abad ke-7. Teori ini didasari oleh sebuah berita dari Cina yang menyatakan bahwa pada abad ke-7 sudah terdapat sebuah perkampungan muslim di pantai barat Sumatera.
Sebuah batu nisan berhuruf Arab milik seorang wanita
muslim bernama Fatimah Binti Maemun yang ditemukan di Sumatera Utara dan
diperkirakan berasal dari abad ke-11 juga menjadi bukti bahwa agama Islam sudah
masuk ke Indonesia jauh sebelum abad ke-13.
Proses Masuknya Islam di Indonesia
Proses masuknya islam ke Indonesia dilakukan secara
damai dengan cara menyesuaikan diri dengan adat istiadat penduduk lokal yang
telah lebih dulu ada. Ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan persamaan derajat,
tidak membeda-bedakan si miskin dan si kaya, si kuat dan si lemah, rakyat kecil
dan penguasa, tidak adanya sistem kasta dan menganggap semua orang sama
kedudukannya dihadapan Allah telah membuat agama Islam perlahan-lahan mulai
memeluk agama Islam.
Proses masuknya Islam ke Indonesia dilakukan secara
damai dan dilakukan dengan cara- cara sebagai berikut.
- Melalui Cara Perdagangan
Indonesia dilalui oleh jalur
perdagangan laut yang menghubungkan antara China dan daerah lain di Asia. Letak
Indonesia yang sangat strategis ini membuat lalu lintas perdagangan di
Indonesia sangat padat karena dilalui oleh para pedagang dari seluruh dunia
termasuk para pedagang muslim. Pada perkembangan selanjutnya, para pedagang
muslim ini banyak yang tinggal dan mendirikan perkampungan islam di Nusantara.
Para pedagang ini juga tak jarang mengundang para ulama dan mubaligh dari
negeri asal mereka ke nusantara. Para ulama dan mubaligh yang datang atas
undangan para pedagang inilah yang diduga memiliki salah satu peran penting
dalam upaya penyebaran Islam di Indonesia.
- Melalui Perkawinan
Bagi masyarakat pribumi, para
pedagang muslim dianggap sebagai kelangan yang terpandang. Hal ini menyebabkan
banyak penguasa pribumi tertarik untuk menikahkan anak gadis mereka dengan para
pedagang ini. Sebelum menikah, sang gadis akan menjadi muslim terlebih dahulu.
Pernikahan secara muslim antara para saudagar muslim dengan penguasa lokal ini
semakin memperlancar penyebaran Islam di Nusantara.
- Melalui Pendidikan
Pengajaran dan pendidikan Islam
mulai dilakukan setelah masyarakat islam terbentuk. Pendidikan dilakukan di pesantren
ataupun di pondok yang dibimbing oleh guru agama, ulama, ataupun kyai. Para
santri yang telah lulus akan pulang ke kampung halamannya dan akan mendakwahkan
Islam di kampung masing-masing.
- Melalui Kesenian
Wayang adalah salah satu sarana
kesenian untuk menyebarkan islam kepada penduduk lokal. Sunan Kalijaga adalah
salah satu tokoh terpandang yang mementaskan wayang untuk mengenalkan agama
Islam. Cerita wayang yang dipentaskan biasanya dipetik dari kisah Mahabrata
atau Ramayana yang kemudian disisipi dengan nilai-nilai Islam.
Keragaman suku bangsa yang tersebar
di Nusantara merupakan kondisi objektif yang penting dan sangat berpengaruh
dalam keseluruhan proses penyebaran dan pembentukan tradisi Islam di Indonesia.
Perbedaan suku bangsa itu tidak hanya menyangkut perbedaan bahasa, adat
istiadat, dan sistem sosio-kultural pada umumnya, tetapi juga perbedaan
orientasi nilai yang menyangkut sistem keyakinan dan keragaman masyarakat.
Setiap suku bangsa, selain memiliki
kepercayaan lokal masing-masing, juga memiliki sistem pengetahuan dan cara
pandang yang berbeda satu dengan yang lainnya. Masuknya unsur baru dalam
kehidupan tentu saja mendapat reaksi yang berbeda-beda. Adanya hukum adat yang
terbentuk dari tradisi sosial budaya masyarakat setempat merupakan bentuk
paling jelas dari institusi lokal yang mengatur tatanan masyarakat. Berdasarkan
pengelompokan yang diperkenalkan oleh pelopor studi hukum adat, Van
Vollenhoven, terdapat Sembilan belas wilayah hukum adat yang mengisyaratkan
agama Islam tersosialisasikan dalam masyarakat yang memiliki ciri adat
tertentu. Interaksi antara hukum Islam dan hukum adat yang tinggi telah ada
sebelum Islam menjadi perdebatan diberbagai daerah. Daerah yang keterkaitannya
dengan adat begitu tinggi dan paling intens menerima proses islamisasi antara
lain Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Terutama menyangkut persoalan
untuk mempertemukan atau menyelaraskan agama dan adat dalam kehidupan
sehari-hari.
Kepercayaan dan tradisi lokal dalam
masyarakat yang masih terdapat sisa-sisa tradisi meghalithikum (adalah
kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar, seperti menhir
adalah tugu yang melambangkan arwah nenek moyang sehingga menjadi benda pujaan.
Dolmen adalah bentuknya seperti meja batu berkakikan tiang satu dan merupakan
tempat sesaji). Pada dasarnya tertumpu pada keyakinan tentang adanya aturan
tetap yang mengatasi segala yang terjadi dalam alam dunia. Tradisi kepercayaan
dan sistem sosial budaya adalah produk masyarakat lokal dalam menciptakan
keteraturan. Seperti tradisi lokal itu adalah melakukan upacara adat,
menghadirkan tata cara menanam dan memanen, melakukan selamatan serta melakukan
upacara peralihan hidup.
Contoh lain tradisi lokal:
Di Tapanuli, kepercayaan lokal
dikenal dengan nama parmalim atau agama si Raja Batak. Di Kepulauwan Mentawai
disebut Sabulungan, di Dayak disebut Kaharingan, di Toraja disebut Aluk to
dolo. Di Sulawesi Tengah di sebut Parandangan, di Sumbawa disebut Baramarapu,
di Nias disebut Ono niha. Di Sika (Maumere) disebut Ratu bita bantara.
Kepercayaan lokal tersebut memang berbeda di setiap daerah, hal itu menunjukkan
keragaman budaya yang ada di Indonesia.
Kemudian tadi dijelaskan mengenai
kebudayaan megalithikum yang belum disebutkan adalah ada juga arca-arca (ini
mungkin melambangkan nenek moyang mereka dan menjadi pemujaan), kubur batu
(peti mayat dari batu yang keempat sisinya berdindingkan papan-papan batu, alas
dan bidang atasnya juga dari papan batu). Punden berundap-undap (yaitu bangunan
pemujaan yang tersusun berttingkat-tingkat). Pada umumnya kebudayaan
megalithikum ini terdapat di seluruh Indonesia seperti di Sumatera, Bali, Jawa,
dan Sulawesi. Di samping itu masyarakat Jawa telah mengenal cerita wayang dan
ini adalah merupakan asli budaya Jawa.
Indonesia sejak zaman neolithikum
atau zaman batu muda di mana alat yang dibuat sudah diasah sehingga menjadi
halus dan indah. Dikatakan bahwa sejak zaman Neolithikum bangsa Indonesia telah
mengenal:
1.
Cara pertanian padi
2.
Mengenal alat pemotong padi
3.
Teknik pembuatan batik
4.
Peternakan
5.
Teknik pembuatan periuk belanga
6.
Membuat alat-alat dari logam
7.
Pembuatan rumah panggung
8.
Mendirikan monument (bangunan
pemujaan)
9.
Sudah mengenal organisasi
pemerintahan secara teratur yang dikepalai Kepala Desa dan menurut Adat
10. Membuat/menggunakan
mata uang.
Perpaduan
Tradisi Lokal dengan Hindu-Budha
Telah diketahui bahwa sebelum
masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, masyarakat Indonesia telah memiliki
kebudayaan yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kebudayaan asli
masyarakat Indonesia tersebut sudah cukup maju. Masuknya budaya Hindu-Budha
membawa perubahan dalam kehidupan budaya masyarakat Indonesia. Unsur kebudayaan
Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaan Indonesia, tetapi tanpa menghilangkan sifat kebudayaan asli
Indonesia. Dengan demikian, lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi
kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
Wujud akulturasi antara kebudayaan
Indonesia dengan kebudayaan Hindu-Budha tersebut, antara lai sebagai berikut:
- Sistem Kepercayaan. Sejak zaman prasejarah bangsa Indonesia telah memiliki kepercayaan berupa pemujaan terhadap roh nenek moyang dan juga kepercayaan terhadap benda-benda tertentu. Kepercayaan itu disebut animism dan dinamisme. Dengan masuknya kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia, terjadilah akulturasi. Sebagai contoh, dalam upacara keagamaan atau pemujaan terhadap para dewa di candi, terlihat pula adanya unsur pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dalam bangunan candi terdapat pripih yang di dalamnya terdapat benda-benda lambang jasmaniah raja yang membangun candi. Sehingga candi berfungsi sebagai makam. Di atas pripih terdapat arca dewa yang merupakan perwujudan raja dan pada puncak candi terdapat lambang para dewa (biasanya berupa gambar teratai pada batu persegi empat). Jadi, upacara keagamaan atau pemujaan terhadap dewa yang ada pada candi tersebut pada hakekatnya juga merupakan pemujaan terhadap roh nenek moyang, dan di situlah letak akulturasinya. Dengan nama yang lain tetapi esensinya adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang.
- Filsafat (maknanya secara sederhana alam pikiran, berpikir secara mendalam). Wujud akulturasi Indonesia dan Hindu—Budha di bidang filsafat dapat ditemukan dalam cerita wayang. Isi cerita tersebut mengandung nilai filosofis, yaitu bahwa kebenaran dan kejujuran akan berakhir dengan kebahagiaan dan kemenangan. Sebaliknya, keserakahan dan kecurangan akan berakhir dengan kehancuran.
- Seni wayang yang sudah popular dalam kehidupan masyarakat Indonesia (khususnya masyarakat Jawa) bersumber dari cerita Ramayana dan mahabrata yang berasal dari India. Namun, penampilan wujud tokoh dalam wayang tersebut adalah budaya Indonesia yang antara daerah satu dan lainnya berbeda. Baik dalam agama Hindu maupun Budha, keduanya mempercayai adanya hukum karma dan reinkarnasi. Kedua hukum tersebut mengandung makna filosofis, yaitu bahwa manusia harus berbuat kebaikan, kebenaran, dan kejujuran agar lepas dari samsara atau penderitaan. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu telah berkembang suatu konsep berupa petuah-petuah, nasehat atau pesan yang mengandung makna filosofis tentang kebenaran, kejujuran dan kebaikan.
- Pemerintahan. Sebelum masuknya pengaruh budaya Hindu-Budha, pemerintahan di Indonesia berlangsung secara demokratis, yaitu untuk menentukan seorang pemimpin (kepala suku) dilakukan melalui pemilihan. Setelah masuknya budaya Hindu-Budha dikenal sistem pemerintahan kerajaan yang tidak lagi dipilih secara demokratis, tetapi secara turun temurun. Namun, dalam perkembangannya sifat pemerintahan demokratis tetap menampakkan kembali ciri khasnya. Pemerintah kerajaan tetap menerapkan musyawarah dalam mengambil keputusan. Kekuasaan raja tidak bersifat mutlak seperti di India. Dalam pergantian raja tidak selalu dilakukan secara turun-temurun. Unsur musyawarah sangat menentukan, terutama bila raja tidak mempunyai putra mahkota.
- Seni Bangunan. Masuknya pengaruh Hindu-Budha ke Indonesia membawa pengaruh terhadap seni bangunan, terutama bangunan candi. Jika dilihat dari bentuknya, bangunan candi selalu bertingkat-tingkat yang terdiri atas kaki candi, tubuh candi, dan puncak candi. Pada candi Hindu ditemukan pripih yang berisikan lambang jasmaniah raja (yang membuat candi), kemudian di atasnya terdapat patung dewa dan pada puncaknya terdapat lambang para dewa. Dengan demikian, jika dilihat dari bentuk bangunannya candi akan mengingatkan kita pada bangunan punden berundak. Oleh karena itu, pada candi ditemukan unsur Indonesia dan unsur Hindu-Budha.
- Fungsi candi di India adalah sebagai tempat untuk memuja dewa. Di Indonesia, candi berfungsi sebagai makam dan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Hal itu dapat dilihat dengan lambang jasmaniah raja di dalam pripih, sedangkan arca di atasnya adalah perwujudan raja yang telah meninggal tersebut.
- Seni Rupa. Masuknya kebudayan Hindu-Budha berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa di Indonseia. Contoh, seni hias yang berupa relief pada dinding candi di Indonesia menunjukkan adanya akulturasi antara budaya Indonesia dan Hindu-Budha. Hiasan relief pada candi biasanya merupakan suatu cerita yang berhubungan dengan agama.
- Relief pada dinding Candi Borobudur seharusnya adalah cerita tentang riwayat Sang Budha Gautama. Namun, yang digambarkan adalah suasana kehidupan masyarakat Indonesia karena ditemukannya hiasan gambar perahu bercadik, rumah panggung, dan burung merpati. Pada Candi Jago di Jawa Timur dijumpai tokoh Punakawan, yaitu orang yang menjadi pengawal seorang ksatria. Cerita itu hanya ditemukan di Indonesia.
- Seni Sastra. Pengaruh seni sastra India juga turut memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa Sansekerta besar pengaruhnya terhadab sastra Indonesia. Prasasti di Indonesia, seperti Kutai, Tarumanegara, dan prasasti di Jawa tengah pada umumnya ditulis dalam bahasa sansekerta dan huruf pallawa. Dalam perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini, pengaruh bahasa sansekerta cukup dominan, terutama dalam istilah pemerintahan. Seperti kata-kata patih lebet (sebuah jabatan yang mengkordinasi pemerintahan dalam istana). Pada masa Sultan Agung Titayasa di Banten, patih lebet dijabat oleh Adipati Mandaraka.
- Sistem Kalender. Sistem penanggalan (kalender) Hindu-Budha turut berpengaruh dalam kebudayaan Indonesia, yaitu digunakannya kalender Saka di Indonesia, juga ditemukan candrasangkala dalam usaha memperingati suatu peristiwa dengan tahun atau kalender Saka. Tahun Saka dimulai tahun 78 M. Kalender Saka merupakan kalender dari India yang digunakan di Indonesia. Penggunaan kalender Saka ditemukan dalam prasasti Talang Tuo (adalah prasasti yang menjelaskan mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra) yang berangka tahun 606 Saka (686 M). Prasasti tersebut menggunakan huruf pallawa dan bahasa melayu kuno. Dua contoh prasasti tersebut merupakan wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
- Candrasangkala adalah angka huruf yang berupa susunan kalimat atau gambar. Setiap kata dalam kalimat tersebut dapat diartikan dengan angka, kemudian dibaca dari belakang maka akan terbaca tahun Saka. Beberapa gambar harus dapat diartikan ke dalam kalimat.
Contoh tahun candrasangkala adalah
sirna ilang kertaning bumi yang artinya:
Sirna : berarti angka 0
Ilang : berarti angka 0
Kertaning : berarti 4
Bumi : berarti 1
Jadi, sirna ilang kertaning bumi
dalam tahun Saka adalah 1400 dan sama dengan tahun 1478 M.
Perpaduan Tradisi Lokal, Hindu-Budha, dan Islam di Indonesia
Bersamaan dengan masuk dan
berkembangnya agama Islam, berkembang pula kebudayaan Islam di Indonesia. Unsur
kebudayaan Islam itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
Indonesia tanpa menghilangkan kepribadian Indonesia, sehingga lahirlah
kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam.
Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam itu juga mencakup unsur kebudayaan
Hindu-Budha. Perpaduan kebudayaan Indonesia dan Islam, antara lain dapat
dilihat sebagai berikut:
- Seni Bangunan. Misalnya bangunan makam. Makam sebagai hasil kebudayaan zaman Islam mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya Islam dan unsur budaya sebelumnya, seperti berikut ini;
Fisik Bangunan. Pada makam Islam
sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat (bangunan makam yang terbuat dari
tembok batu bata) yang kadang-kadang disertai bangunan rumah (cungkup) di
atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan tentang adanya kijing atau
cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan ciri bangunan candi dalam ajaran
Hindu-Budha. Tidak berbeda dengan candi, makam Islam, terutama makam para raja,
biasanya dibuat dengan megah dan lengkap dengan keluarga dan para pengiringnya.
Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok dengan gapura (pintu gerbang) sebagai
penghubungnya. Gapura itu belanggam seni zaman pra-Islam, misalnya ada yang
berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi.
Tata Upacara Pemakaman. Pada tata
cara upacara pemakaman terlihat jelas dalam bentuk upacara dan selamatan
sesudah acara pemakaman. Tradisi memasukkan jenazah dalam peti merupakan unsur
tradisi zaman purba (kebudayaan megalithikum yang mengenal kubur batu) yang
hidup terus menerus sampai sekarang. Demikian pula, tradisi penaburan bunga di
makam dan upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus
hari, dan seribu hari untuk memperingati orang yang telah meninggal merupakan
unsur Islam dan juga unsur agama Hindu-Budha. Dan hingga saat ini tetap
dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Islam.
Penempatan Makam. Dalam penempatan
makampun terjadi akulturasi antara kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan Islam.
Misalnya, makam terletak di tempat yang lebih tinggi dan dekat dengan masjid.
Contohnya, makam raja-raja Mataram yang terletak di bukit Imogiri dan makam
para wali yang berdekatan dengan masjid. Dalam agama Hindu-Budha makam dalam
candi.
- Bangunan Masjid. Bangunan masjid merupakan salah satu wujud budaya Islam yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Dalam sejarah Islam, masjid memiliki perkembangan yang beragam sesuai dengan daerah tempat berkembangnya. Di Indonesia, masjid mempunyai bentuk khusus yang merupakan perpaduan budaya Islam dengan budaya setempat. Perpaduan budaya pada bangunan masjid terlihat pada;
Bentuk Bangunan. Bentuk masjid di
Indonesia, terutama di pulau Jawa, bentuknya seperti pendopo (balai atau ruang
besar tempat rapat) dengan komposisi ruang yang berbentuk persegi dan beratap
tumpang. Cirri khusus bangunan masjid di Timur Tengah biasanya bagian atapnya berbentuk
kubah, tetapi di Jawa diganti dengan atap tumpang dengan jumlah susunan
bertingkat dua, tiga, dan lima.
Menara. Menara merupakan bangunan
kelengkapan masjid yang dibangun menjulang tinggi dan berfungsi sebagai tempat
menyerukan azan, yaitu tanda datangnya waktu shalat. Di Jawa terdapat bentuk
menara yang dibuat seperti candi dengan susunan bata merah dan beratap tumpang,
seperti menara masjid Kudus (Jawa Tengah).
Letak Bangunan. Dalam ajaran Islam,
letak bangunanmasjid tidak diatur secara khusus. Namun, di Indonesia,
penempatan masjid khususnya masjid agung, diatur sedemikian rupa sesuai dengan
komposisi mocopat (yaitu masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun), dan
dekat dengan istana (keraton) yang merupakan symbol tempat bersatunya rakyat
dengan raja di bawah pimpinan imam. Selain itu, adanya kentongan atau bedug
yang dibunyikan di masjid Indonesia sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Hal
itu juga menunjukkan adanya unsur Indonesia asli. Bedug atau kentongan tidak
ditemukan pada masjid di Timur Tengah.
- Seni Rupa. Wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan islam pada seni rupa dapat dilihat pada ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat (batu kubur) yang berupa susunan bingkai meniru bingkai candi. Pada dinding rumah, makam dan gapura terdapat corak dan hiasan yang mirip dengan corak dan hiasan yang terdapat pada Pura Ulu Watu dan Pura Sakenan Duwur di Tuban (Jawa Timur). Salah satu cabang seni rupa yang berkembang pada awal penyebaran agama Islam di Indonesia adalah seni kaligrafi. Kaligrafi tersebut biasanya digunakan untuk menghias bangunan makam atau masjid.
- Aksara. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam dalam hal aksara diwujudkan dengan berkembangnya tulisan Arab Melayu di Indonesia, yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menulis dalam bahasa Melayu. Tulisan Arab Melayu tidak menggunakan tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Tulisan Arab Melayu disebut dengan istilah Arab gundul.
- Seni Sastra. Kesusastraan pada zaman Islam banyak berkembang di daerah sekitar selat Malaka (daerah Melayu) dan Jawa. Pengaruh yang kuat dalam karya sastra pada zaman Islam berasal dari Persia. Misalnya, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, dn Cerita 1001 Malam. Di samping itu, pengaruh budaya Hindu-Budha juga terlihat dalam karya sastra Indonesia. Misalnya, Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama, Hikayat Kuda Semirang, dan Syair Panji Semirang.
Cara penulisan karya sastra pada
zaman Islam dilakukan dalam bentuk gancaran dan tembang. Di Jawa, tembang
merupakan suatu bentuk yang lazim, tetapi di daerah Melayu, tembang dan
gancaran ada semua. Cerita yang ditulis dalam bentuk gancaran disebut hikayat,
sedangkan cerita yang ditulis dalam bentuk tembang disebut syair. Di daerah
Melayu, karya sastra itu ditulis dengan menggunakan huruf Arab, sedangkan di
Jawa, naskah itu ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan Arab (terutama yang
membahas soal keagamaan).
- Sistem Pemerintahan. Pengaruh agama Islam di Indonesia juga terjadi dalam bidang pemerintahan sehingga terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudyaan pra-Islam. Sebelum masuknya agama Islam, di Indonesia telah berkembang sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan. Raja mempunyai kekuasaan besar dan bersifat turun-temurun. Masuknya pengaruh Islam mengakibatkan perubahan struktur pemerintahan dalam penyebutan raja. Raja tidak lagi dipanggil maharaja, tetapi diganti dengan julukan sultan atau sunan (susuhunan), panembahan, dan maulana. Pada umumnya nama raja pun disesuaikan dengan nama Islam (Arab).
Akulturasi dalam penyebutan nama
raja di Jawa lebih kelihatan karena raja tetap memakai nama Jawa dibelakang
gelar sultan, sunan, atau panembahan, seperti Sultan Trenggono. Di samping itu,
juga muncul tradisi baru di Jawa, yaitu pemakaian gelar raja secara
turun-temurun, sedangkan untuk membedakan raja yang satu dengan yang lainnya
ditentukan dengan menambah angka urutan di belakang gelar, seperti
Hamengkubuwono I, II, III, dan seterusnya.
Begitu pula, dengan sistem
pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan Islam di Nusantara tetap tidak
mengabaikan cara-cara pengangkatan raja pada masa sebelumnya. Di Kerajaan Aceh,
tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat.
Catatan tambahan
Di Kerajaan Aceh, tata cara
pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat. Tata cara pengangkatan
raja di Kerajaan Aceh adalah raja berdiri di atas tabal (tabuh/beduk yang
dipalu pada ketika meresmikan penobatan raja, mengumumkan penobatan raja),
kemudian disertai ulama sambil membawa al-Qur’an berdiri di sebelah kanan dan
perdana menteri memegang pedang di sebelah kiri. Di Jawa, pengangkatan raja
dilakukan oleh para wali. Raden Fatah menjadi Sultan Demak dengan permufakatan
para wali dan dilakukan di masjid Demak. Pengangkatan Sultan Hadiwijaya dari
Kesultanan Pajang dan Penembahan Senopati dari Mataram juga tidak terlepas dari
peran Wali Sanga. Perbedaan tata cara pengangkatan raja di setiap daerah
menunjukkan bahwa tradisi lokal tetap digunakan.
- Sistem Kalender. Wujud akulturasi budaya Indonesia dan Islam dalam sistem kalender dapat dilihat dengan berkembagnnya sistem kalender Jawa atau Tarikh Jawa. Sistem kalender tersebut diciptakan oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1043 H atau 1643 M. Sebelum masuknya budaya Islam, masyarakat Jawa telah menggunakan kalender Saka yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender Jawa, nama bulan adalah Sura, Safar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Zulkaidah, dan Besar. Nama harinya adalah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad yang dilengkapi hari pasaran, seperti Legi, Pahing, Pon, Wege, dan Kliwon.
- Filsafat. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha menjawab masalah-masalah yang tidak terjawab oleh disiplin ilmu yang lain. Filsafat akan mencari suatu kebenaran yang hakiki. Dalam mencari kebenaran, umat Islam menggunakan pendekatan tasawuf. Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang orang-orang yang langsung mencari Tuhan karena terdorong oleh cinta dan rindu terhadap Tuhan. Mereka meninggalkan masyarakat ramai dan kemewahan dunia serta mendekatkan diri kepada Tuhan dengan seluruh jiwa dan raga mereka. Para pencari Tuhan itu mengembara ke mana-mana. Mereka dinamakan sufi dan alirannya dinamakan tasawuf. Bersamaan dengan perkembangan tasawuf, muncul tarekat di Indonesia, seperti tarekat qadariyah. Tarekat adalah jalan atau cara yang ditempuh oleh kaum sufi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah.
Bentuk akulturasi ilmu tasawuf
dengan budaya pra-Islam tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
- Aliran Kebatinan
Dalam rangka mendekatkan diri kepada
Tuhan, muncul usaha mencari Tuhan dari kalangan sufi. Seperti ajaran
manunggaling kawulo gusti yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar. Ajaran Syeikh
Siti Jenar banyak dipengaruhi oleh unsur budaya pra-Islam. Akibatnya, ia
dihukum oleh para wali, karena dianggap menyesatkan.
- Filsafat Jawa
Filsafat Jawa sangat erat sekali
hubungannya dengan dunia pewayangan. Oleh karena itu, dalam penyebaran Islam di
pulau Jawa para walimenggunakan wayang sebagai medianya. Tokoh yang terkenal
adalah Sunan Kalijaga.
Perbandingan Konsep Kekuasaan di
Kerajaan Hindu-Budha dengan Kerajaan yang bercorak Islam.
Dalam ajaran Hinduisme dan Budhisme
terdapat suatu pandangan yang dikenal sebagai kosmogoni (asal-usul alam
semesta). Dalam konsepsi tersebut manusia mengaggap bahwa antara dunia manusia
dan jagat raya terdapat kesejajaran. Pandangan tersebut memengaruhi alam
pikiran manusia sehingga melahirkan konsepsi tentang hubungan antara manusia
dan jagat raya. Selanjutnya, hal Itu dihubungkan dengan kegiatan politik dan
kekuasaan yang berwujud dalam susunan pemerintahan. Hal itu terjadi juga pada
kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang menganggap raja dan kerajaannya (mikro
kosmos) merupakan gambaran nyata dari jagat raya (makro kosmos).
Menurut pandangan masyarakat pada
zaman Hindu-Budha, raja dianggap sebagai orang tokoh yang diidentikkan dengan
dewa. Kekuasaan raja dianggap tidak terbatas. Ia tidak dapat diatur dengan cara
duniawi karena dalam dirinya terdapat kekuatan yang mencerminkan roh dewa yang
mengendalikan kehendak pribadinya. Negara dianggap sebagai citra kerajaan para
dewa, baik dalam aspek material maupun aspek spiritualnya. Raja dan para
pegawainya memiliki kekuasaan dan kekuatan yang sepadan dengan yang dimiliki
oleh para dewa. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan raja tidak boleh dibantah
oleh siapa pun.
Dalam konsep kekuasaan kerajaan yang
bercorak Islam, mengkultuskan raja tidak berlaku karena dalam ajaran agama
Islam kedudukan antara manusia dengan Tuhan sangat berbeda. Tuhan berada di
atas segala-galanya. Ajaran Islam menempatkan raja dalam kedudukan yang tidak
semulia dan seagung pada zaman Hindu-Budha, tetapi sebagai khalifatullah, yaitu
sebagai wakil penguasa di dunia dan akan dimintai pertanggungjawabannya nanti.
Manusia yang akan diangkat sebagai khalifatullah akan mendapat tanda-tanda
khusus dari Tuhan dalam bentuk perlambang tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, seorang
raja harus memiliki legitimasi (pengesahan) dari Tuhan. Bentuk legitimasi itu
oleh orang Jawa disebut wahyu atau cahaya nubuwat atau pulung. Seseorang yang
mendapat wahyu dari Tuhan berupa pulung keraton atau kekuatan suci, ia akan
menjadi penguasa tanah Jawa. Selain itu, seorang raja harus memiliki perlambang
yang mempunyai kekuatan magis.
Dalam kitab Babad Tanah Jawi,
dikisahkan bahwa takhta Kerajaan Majapahit sebelum diserahkan kepada Raden
Patah harus terlebih dahulu diduduki (dilungguhi) oleh Sunan Giri selama empat
puluh hari sebagai syarat untuk menolak bala. Perlambang lainnya yang
menunjukkan kekuatan magis adalah alat gamelan berupa gong. Di Kerajaan Banjar,
tanda yang berkekuatan magis berupa payung, keris, umbul-umbul, mahkota dan
gamelan. Di Ternate, benda yang dianggap mempunyai kekuatan magis, antara lain
mahkota kereta keranjang, paying, bendera, keris dan pedang.
Penghapusan konsep dewa raja pada
zaman islam tidak mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan raja yang
menyeluruh dan mutlak atas seluruh rakyat. Sultan sebagai seorang raja yang
berkuasa atas rakyatnya dianggap dapat menghubungkan mereka dengan alam gaib.
Hal itu dapat dilihat dalam tradisi pemberian gelar pangeran (susuhunan,
panembahan) kepada seorang sultan atau raja. Karena raja menduduki posisi
sentral, seluruh aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja.
Kekuatan apapun yang mungkin dimiliki oleh para pejabat diyakini diperoleh dari
raja.
Jadi, baik dalam kerajaan-kerajaan
Hindu-Budha maupun Islam, konsepsi magis-religius memainkan peran yang
menentukan, tidak hanya dalam melegitimasi kekuasaan raja, tetai juga dalam
menjelaskan peranan orang yang memerintah dan yang diperintah serta hubungan
antara raja dan rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar